KEUNTUNGAN TRANSFORMASI BUDAYA PERUSAHAAN YANG SOLID

“What’s in it for me?” Pembahasan budaya perusahaan seolah lebih banyak memberikan keuntungan bagi pemilik atau pemimpin perusahaan. Jangan salah, budaya tidak hanya menguntungkan bagi mereka yang berada di puncak manajemen. Budaya perusahaan yang sehat tidak mendikotomikan manfaat berdasarkan level dalam struktur. Beberapa orang tidak menyukai pekerjaannya karena merasa hari-harinya dipenuhi dengan tugas, kewajiban, dan target yang hanya memberikan keuntungan terhadap pemilik atau orang-orang tertentu saja.

“Ah, kita mau kerja bagus pun juga akan tetap begini-begini saja Pak.” Sebuah pernyataan skeptis seorang manajer dalam sebuah lokakarya awal program di sebuah perusahaan. Apa yang dikatakan manajer ini sejenak menurunkan rasa optimisme terhadap keberhasilan program yang akan kami lakukan. Manajer ini termasuk pada golongan Unbelievers jika bukan Agnostic. Namun, kenyataannya memang pendapatnya relevan dengan situasi yang dihadapi.

Kita sepakat bahwa apa yang menjadi hambatan bagi seseorang untuk berubah atau terlibat dalam sebuah kegerakan adalah kurangnya alasan yang menjadi motivasi. Harus diakui bahwa motivator paling dasar adalah uang, sekalipun bukan yang utama dan bukan pula yang paling powerful. Istilah “begini-begini saja” yang dikemukakan oleh manajer tersebut punya makna yang luas : gaji, jabatan, fasilitas, kesempatan, bahkan status quo yang dipertahankan oleh para pemimpin. Jika situasi ini terjadi berulang, tidak heran jika motivasi karyawan akan berkurang saat diajak untuk terlibat melakukan perubahan.

Namun kita juga perlu mengakui bahwa perusahaan juga memiliki keterbatasan untuk selalu memberikan insentif dalam bentuk uang, jabatan, atau fasilitas, walaupun kami sangat mendorongnya jika itu memungkinkan. Sekalipun begitu, kita seharusnya memandang harapan ini dengan proporsional. Di satu sisi, kita perlu mengakui bahwa insentif dalam bentuk material adalah hal yang penting. Tapi kita juga sepakat bahwa insentif material bukan hal yang fundamental, dampaknya sesaat dan kurang mendasar.

Perubahan yang menetap bahkan revolusioner dilandasi oleh adanya tujuan yang fundamental, antara lain:

  1. Tujuan yang mulia. Tujuan seseorang bekerja berbeda-beda di tiap generasi bergantung pada tantangan jaman. Jika generasi X bekerja untuk bertahan hidup, cenderung mengikuti “jalan normal” untuk meniti karier dan berdamai dengan “garis nasib”, kini para millenials akan merasa resah ketika ia merasa semua kerja kerasnya hanya untuk mewujudkan mimpi orang lain seperti memperkaya pemilik perusahaan. Namun, ketika mereka merasa bahwa “bekerja” berarti terlibat dalam sebuah misi besar yang dapat berdampak luar biasa bagi dunia, mereka akan merasa “lebih berarti”. Tujuan inilah yang menjadi penggerak mereka, rasa berkontribusi dalam sebuah tujuan mulia memberikan bahan bakar bagi mereka untuk terlibat dalam pengembangan budaya dalam perusahaan.
  1. Kesetaraan. Keleluasaan untuk mengungkapkan pendapat dan berkontribusi dengan cara yang mereka percayai meningkatkan rasa tanggung jawab. Pada dasarnya, keterlibatan mereka dalam merumuskan berbagai hal dalam pekerjaan meningkatkan rasa memiliki. Situasi ini memberi kesempatan bagi mereka untuk lebih bertanggung jawab akan pilihannya sendiri.

 

Jadi dapat kita petakan bahwa dalam membawa seseorang atau suatu kelompok untuk mau terlibat aktif dalam sebuah perubahan, diperlukan beberapa pendorong yang berfungsi sebagai motivator.

Faktor Pendorong Level Cara Kerja Metode
Materi – Finansial, karier, kesempatan Kebutuhan sehari-hari/ jasmani
  1. Menciptakan momentum sesaat
  2. Membangun antusiasme
  1. Rekognisi dan apresiasi
  2. Target & mekanisme yang jelas
  3. Nilai yang rasional
Ikatan emosi – Hubungan Kebutuhan emosional
  1. Menjaga momentum
  2. Membangun keterikatan
  1. Kejujuran & keterbukaan
  2. Keterlibatan & empati
Visi dan tujuan Kebutuhan spiritual
  1. Menjaga momentum
  2. Membangun rasa memiliki
  1. Membangun narasi
  2. Merayakan keberhasilan
  3. Kesempatan menyampaikan dan mewujudkan gagasan

Karenanya, kami selalu menyarankan setiap perusahaan untuk terlebih dulu memenuhi kewajibannya dalam hal material. Apakah struktur gaji yang diterapkan perusahaan telah sesuai dengan ketentuan pemerintah. Apakah perusahaan telah memberikan seluruh fasilitas dasar yang diwajibkan? Kenyataannya, pemenuhan kewajiban ini sekalipun berat sesungguhnya adalah wujud teladan yang ditunjukkan perusahaan. Akan menjadi pertanyaan jika manajemen mengomunikasikan sebuah nilai kepatutan dan menuntut ketaatan, namun di saat yang bersamaan perusahaan tidak taat terhadap undang-undang yang diwajibkan. Hal ini akan menurunkan tingkat kepercayaan karyawan terhadap manajemen.

Hal ini penting saya sampaikan karena dalam membangun budaya kita harus memahami minimal dua sudut pandang utama, yaitu sudut pandangan karyawan sekaligus sudut pandang pemimpin strategis perusahaan. Dua sudut pandang ini perlu dipahami agar kita dapat berpikir lebih menyeluruh sehingga pendekatan dan narasi yang dibangun lebih efektif.

Recommended Posts