DIMENSI DAN ELEMEN BUDAYA PERUSAHAAN

Edgar Schein menganalogikan budaya perusahaan sebagai gunung es, yang tampak hanya sebagian dari keseluruhan aspeknya. Apa yang kita lihat saat berinteraksi, poster-poster, dan kata-kata mutiara yang ditunjukkan di kantor merupakan sebagian kecil penanda budaya. Dalam beberapa kasus, ini bahkan hanya retorika. Kebanyakan perusahaan akan menuliskan tentang integritas, kerja sama tim, dan orientasi mereka pada kepuasan pelanggan. Jargon-jargon ini penting, bahkan sangat penting, namun budaya tidak berhenti sampai di situ.

Schein membagi budaya organisasi ke dalam 3 level, yaitu:

  1. Visible – terlihat. Dimensi budaya yang terlihat ditandai dengan segala hal yang dapat kita lihat dan rasakan oleh indera seperti: jargon perusahaan, pernyataan nilai-nilai inti, anthem atau lagu identitas perusahaan, desain kantor, seragam, dan visualisasi akan nilai-nilai yang dianut seperti poster dinding yang berisi kutipan inspiratif. Hal-hal tersebut disebut juga dengan artefak, atau komponen-komponen visual yang menunjukkan keunikan identitas suatu budaya dibandingkan dengan budaya lainnya.
  1. Invisible – Tidak terlihat. Prinsip, nilai, dan persepsi akan benar atau tidaknya suatu sikap dalam organisasi. Dimensi ini ditandai dengan gaya bicara atau berkomunikasi, peraturan-peraturan tidak tertulis, kebiasaan maupun peraturan tertulis yang mengatur seputar etika dan sikap kerja. Pada dimensi ini pula, nilai-nilai inti perusahaan atau core values dijabarkan menjadi definisi yang lebih elaborative dan perilaku-perilaku kunci.

 

  1. Subconscious – Di bawah kesadaran. Dimensi ini yang paling sulit didefinisikan, bahkan terkadang tidak disadari oleh si pemilik budaya. Sering kali sudah menjadi pola pikir tanpa perlu dipertanyakan. Schein menyebut dimensi ini sebagai asumsi dasar atau paradigma yang dimiliki setidaknya oleh orang-orang yang berpengaruh dalam organisasi tersebut. Ketidaksadaran ini menjadi sumber lahirnya visi, nilai, dan seluruh atribut budaya. Contoh asumsi dasar yang dimaksud seperti pandangan terhadap manusia atau karyawan. Beberapa orang melihat manusia sebagai entitas yang cenderung menyimpang jika tidak dikelola dengan keras. Sebagian lainnya melihat manusia sebagai entitas yang cenderung melakukan kebaikan, penuh potensi, dan memiliki naluri positif tanpa harus dikerasi.

Sekalipun budaya sering kali lahir tanpa terencana, pada dasarnya mereka terbentuk dari elemen yang sama. Yang menjadi tugas kita dalam mengembangkan budaya perusahaan adalah menyelaraskan semua elemen ini secara sistematis sesuai dengan budaya yang ingin kita bangun. Ada beberapa pendapat mengenai elemen yang mempengaruhi budaya, berikut ini adalah elemen inti yang menurut kami menjadi kunci dari budaya yang kuat:

  1. Tujuan (Purpose). Sering kali terdefinisikan dalam pernyataan visi dan misi. Untuk apa perusahaan atau organisasi ada? Perubahan apa yang ditawarkan oleh perusahaan ini? Atau, apa yang akan hilang dari dunia jika perusahaan ini berhenti beroperasi? Visi dan misi memberi arah yang jelas ke mana sebuah perusahaan bergerak, sekaligus sebagai dasar evaluasi apakah selama ini kita melakukan hal yang tepat. Visi dan misi yang jelas juga memberikan fokus pada apa yang penting dan tidak. Tanpa kejelasan visi dan misi sebagai panduan, sebuah perusahaan akan kehilangan identitasnya.
  1. Nilai-nilai inti (Core values). Tidak hanya serangkaian kata-kata yang terpasang di dinding sebagai artefak, namun prinsip dasar mengapa setiap orang dalam perusahaan menunjukkan perilaku tertentu. Nilai-nilai ini akan berperan sebagai penuntun yang jelas jika dilaksanakan dengan konsisten, khususnya jika diteladankan oleh para pemimpin. Sebaliknya, pernyataan nilai-nilai inti akan menjadi bumerang jika para pemimpin perusahaan dinilai tidak menghidupi nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai inti perusahaan menjabarkan sebuah perilaku mulai dari tataran idealisme hingga tindakan yang teramati.

 

  1. Komunikasi (Communication). Bagaimana sebuah harapan, standar, dan tujuan dikomunikasikan menjadi sangat penting dalam membangun budaya. Tidak hanya tentang isi, namun juga bagaimana pesan tersebut disampaikan. Cara kita memberikan respons atau menyampaikan sesuatu dapat dengan mudah membentuk sebuah perilaku tertentu. Misalnya respons negatif ketika menanggapi gagasan yang di luar kebiasaan cenderung akan mengurangi inisiatif dan menghambat keterbukaan. Komunikasi yang dimaksud melingkupi konteks normal maupun informal. Pembicaraan yang hanya terfokus pada pekerjaan juga cenderung tidak memperkuat empati dan bonding antar karyawan.

 

  1. Hubungan (Relationship). Menjadi elemen yang krusial karena kualitas hubungan adalah salah satu hal yang kita kelola dalam bekerja, baik dengan sesama karyawan (peer), atasan, bawahan, dan pelanggan. Relasi yang sehat membangun budaya yang sehat pula. Rasa memiliki akan visi, misi, dan nilai-nilai inti perusahaan lebih mudah merata jika hubungan interpersonal dalam perusahaan terjalin dengan baik. Sebaliknya, jika kualitas hubungan buruk, maka fenomena yang kontraproduktif akan muncul seperti ego-sektoral, persaingan yang destruktif, dan terbentuknya “suku-suku” kecil yang merasa memiliki musuh bersama.

 

  1. Komitmen Pemimpin (Leadership). Melakukan transformasi budaya sering kali berarti menambah kebiasaan baru tanpa komitmen sehingga hal ini akan dianggap membuang-buang waktu. Pada elemen ini penting bagi seorang pemimpin menunjukkan standar tentang apa yang relevan. Jika seorang pemimpin memberikan kesan bahwa program-program budaya tidak terlalu penting, maka karyawan juga akan memberikan bobot yang ringan sehingga kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan budaya tidak menjadi prioritas.

Recommended Posts